Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang diketuai Bapak DR. Mohamad Natsir, juga turut dirancang oleh Buya Datuk Palimo Kayo sejak didirikan pada bulan Pebruari 1967. Sebagai organisasi dakwah, maka kepada setiap unsur yang berperan dalam Dewan Da’wah selalu diajarkan supaya memanggil semua orang ke jalan Allah, dengan cara-cara yang diperingatkan supaya memanggil itu dengan hikmah (bijaksana).
Bil hikmah dalam satu masyarakat yang terdiri dari pemeluk-pemeluk berbagai agama, terasa sekali sangat mutlak diperlukannya.[1]
Sebagai telah diyakini bahwa Dakwah Islam adalah perombakan total sikap umat manusia di dalam menanggapi dan menjalani kehidupan duniawi untuk persiapan kehidupan yang lebih panjang tanpa batas di akhirat. Maka sebenarnya sasaran Dakwah Islam adalah manusia yang tengah hidup di dunia ini, atau dengan perkataan lain, dakwah tidak akan pernah berhenti, tetap akan merupakan kewajiban (fardhu ‘ain) bagi setiap umat Muslim di mana pun mereka berada. Karena itu para pendiri Dewan Da’wah dengan sadar telah menetapkan gerakan dakwah berdasar kepada taqwa dan keredhaan Allah dan tujuan menggiatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia.
Dalam melakukan kegiatan-kegiatan, Dewan Da’wah menempatkan diri sebagai penerus kegiatan-kegiatan dakwah sebelumnya yang telah dimulai sejak Rasulullah SAW.
Menerima tugas risalah, artinya adalah memanggil umat manusia kepada jalan Allah, dengan hikmah dan mau’izhatu hasanah. Bapak DR. Mohamad Natsir menyebutkan dengan ungkapan sederhana tapi padat arti ialah “risalah mengawali dan dakwah melanjutkan”.
Dewan Da’wah sadar benar walaupun tugas risalah Islamiyah yang dibawa Rasulullah SAW bertujuan menciptakan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘alamin). Namun sudah menjadi tabiat pembawaan, bahwa setiap risalah pasti menghadapi tantangan. Menghadapi tantangan itu, diperlukan jawaban-jawaban. Maka tugas dakwah senantiasa mengandung dua segi: bina’an wa difa’an. Pertama: membina mereka yang sudah muslim, baik yang sejak lahirnya, maupun yang baru masuk Islam berkat keberhasilan dakwah Islamiyah. Kedua: membela Islam dan umatnya dari mereka yang tidak senang melihat kemajuan umat Islam, bahkan yang melihat Islam sebagai rivalnya.
Di kala Bapak DR. Mohamad Natsir berkunjung ke Sumatera Barat pada Juni tahun 1968 itu, ada program pokok yang musti dilakukan.
Gerakan Kembali Tangan Umat
a. Melalui penguasaan keterampilan di desa-desa,
b. Dalam usaha membina kesejahteraan bersama,
c. Menghidupkan kembali ekonomi umat di desa-desa. Desa adalah benteng kota dalam artian perkembangan ekonomi yang sesungguhnya.
Keterampilan pertanian dan peternakan terpadu di Tanah Mati Payakumbuh dan pemanfaatan lahan wakaf umat di Rambah Kinali mulai digarap.
Tujuan utamanya tidak hanya sekedar untuk mendatangkan hasil secara ekonomis namun lebih jauh sebagai wadah pembinaan generasi muda yang tetap harus tertuntun oleh akhlak, dan pandangan hidup Islam, tertuntun dan terbimbing oleh “Adat basandi Syara’ , syara’ mamutuih, Adat memakai !”.
Adat dan syari’at memberikan unsur-unsur pegangan hidup yang positif. Keduanya menyimpan kekuatan pendorong dan perangsang, force of motivation, menjadi tenaga penggerak, untuk mendinamisasi satu masyarakat yang statis atau “sedang mengantuk”, dan menumbuhkan sifat-sifat kebiasaan-kebiasaan (human behaviour) yang diperlukan, untuk mengembangkan kegiatan ekonomis, seperti menghindarkan pemborosan, dan selalu melihat jauh ke depan, yang akan merupakan harta besar dari kekayaan masyarakat yang tidak ternilai besarnya.
Bapak DR.Mohamad Natsir sebagai seorang the political thinkers atau the political idea philosopher, senantiasa berupaya menggali dan memerankan sungguh-sungguh potensi yang dipunyai masyarakat kecil. Idea dan pemikiran politik Mohamad Natsir adalah berurat di hati umat.
Satu tema menarik: menciptakan masyarakat tamaddun (beradab). Konsep pemikiran ini merupakan antitesis terhadap degradasi moral yang dibawa oleh peradaban liberal yang sekuler. Masyarakat tamaddun merupakan sebuah masyarakat integratif secara sosial, politik maupun ekonomi. Konsep membentuk masyarakat semacam ini sangat sejalan dengan salah satu konsepsi pemikiran Bapak DR. Mohamad Natsir dalam ruang lingkup pemikiran Islam. Ajaran agama Islam sanggup bersinggungan dengan lalu lintas ide atau pemikiran yang ada di dunia sekitarnya, tanpa harus menggadaikan prinsip dasar ajaran Wahyu Allah yang menjadi landasan agama Islam.
Interaksi ini mengharuskan pemahaman ajaran agama Islam tidak lagi secara eksklusif dalam ruang lingkup pergaulan hidup sehari-hari dalam sebuah komunitas sosial yang tertutup dari dunia sekitarnya. Tetapi semestinya bersifat inklusif, untuk bisa dipahami oleh semua orang.
Peranan pemikiran baru dalam mencerahkan semua problematika sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam segenap lapisan masyarakat yang ada mulai dari proses westernisasi yang dibawa kebudayaan Barat, merupakan salah satu antitesis terhadap masalah (kondisi) tersebut.
Pemikiran Bapak DR. Mohamad Natsir sedari awalnya berupaya menjelmakan umat pertengahan (umathan wasathan). Suatu tatanan masyarakat yang kokoh iman dan berakhlak mulia seperti yang dikemukakan ajaran Al Qur’an. Sebagai pemikiran aplikatif terhadap problematika sosial yang ada, maka penerapan terhadap segenap ide (pemikiran) yang ada merupakan sebuah keniscayaan. Frustrasi sosial yang melahirkan agresi dalam segenap bidang kehidupan hadir, karena kesenjangan antara sebuah ide dengan aplikasi ide tersebut. Kesenjangan teratasi oleh pembentukan masyarakat self help, selfless help dan mutual help di atas.
Upaya menjembatani kesenjangan hanya bisa dilakukan melalui amal nyata dengan “Berorientasi kepada ridha Allah SWT.” Suatu keyakinan sangat obyektif bahwa setiap ajaran Islam, pasti mampu memberikan jalan keluar (solusi) terhadap problematika sosial umat manusia.
Ajaran agama Islam berada dalam hati manusia yang mampu menangkap tanda-tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi di sekitarnya. Mereka yang mampu menangkap tanda tanda-tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut, adalah mereka orang-orang yang beriman.
Apatisme politik dan bersikap menjadi “pengamat diam” tanpa ada keinginan dan usaha untuk ikut berperan aktif dalam setiap perubahan sosial, politik dan ekonomi tersebut adalah mereka yang memiliki selemah-lemah iman (adh’aful iman).
Sikap diam (apatis) dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi, yang selalu mengalami perubahan, hanya bisa diatasi dan dihilangkan dengan sikap yang jelas, antaranya ;
· mengerjakan segala sesuatu yang bisa dikerjakan,
· jangan pikirkan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan,
· apa yang ada sudah cukup untuk memulai sesuatu,
· jangan berpangku tangan dan menghitung orang yang lalu.
Keempat kata-kata tersebut merupakan amanat dari ajaran agama Islam untuk tidak menunggu saja setiap perubahan, baik itu bidang sosial, politik dan ekonomi dalam hidup ini. Setiap mukmin mestinya mampu memanfaatkan segala perubahan yang berhubungan dengan kehidupan dunia luar dan di sekitarnya.
Sikap hidup menjemput bola, merupakan sikap hidup yang sangat didorongkan untuk dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Sikap dinamis sangat diperlukan mengantisipasi selemah-lemah iman, dan sikap dinamis pula yang menjadi kata-kata kunci perubahan sosial, politik dan ekonomi.
Dinamika hidup sebagai buah ajaran Islam itu tampak dalam saling membantu dan tidak selalu tergantung kepada orang lain. Ketergantungan akan menempatkan orang terbawa hanyut ke mana-mana.
Maka menciptakan kekuatan ekonomi dalam masyarakat mesti diupayakan terus-menerus melalui penguatan rakyat kecil (people empowerment) yang menjadi tiang proses kompetisi dunia saat ini. Terutama di dalam menghadapi perkembangan era globalisasi. Maka tujuan dakwah adalah dalam kerangka ibadah dan pembentengan aqidah. Apalagi tatkala umat tengah mempertahankan diri menghadapi rongrongan gerakan kelompok Salibiyah yang kian hari terasa makin pesat.
DR. Mohamad Natsir mengemukakan dalam taushiyahnya bahwa membangun masyarakat besar hanya bisa dicapai dengan penguatan (to strength) melalui masyarakat kecil dan sederhana. Istilah yang pas untuk menjelaskan hal ini adalah melalui pembentukan cara hidup yang diajarkan agama Islam. Antara lain berdikari atau berdiri di kaki sendiri, tanpa tergantung kepada orang lain (self help), kemudian membantu orang lain tanpa pamrih dengan ukuran ikhlas karena Allah SWT (selfless help), dan selanjutnya membentuk satu masyarakat yang saling membantu satu dan lainnya (mutual help).
Cara hidup ini merupakan konsepsi pemikiran Islami yang dikembangkan menjadi dasar pembentukan kerjasama di antara warga masyarakat. Bahkan bisa dikembangkan untuk solidaritas antar negara yang mendasari bentuk hubungan internasional yang mampu menciptakan tata perdamaian dunia.
Ketiga dasar tersebut merupakan dasar pembentukan masyarakat tamaddun (beradab), yang bukan hanya bersifat “kebangkitan ekonomi”, tetapi merupakan sesuatu yang bersifat moral (the moral renewance). Dalam “pembersihan moral” ini, maka peranan agama Islam menjadi penting.
Hidupkan Kembali Lembaga Puro, Tanamkan Ruhul Infaq
· Hidupkan kembali kebiasaan menabung dan berhemat dalam satu simpanan bernama puro.
· Juga menghidupkan kebiasaan berinfaq, bersedekah dan berzakat sebagai suatu usaha pelaksanaan syariat Islam,
· menghimpun dana dari umat yang berada untuk dikembalikan kepada umat yang lemah (dhu’afa).
Perhatian tidak dapat dipalingkan dari perlunya pembinaan para dhu’afa’ serta anak-anak yatim yang memerlukan uluran tangan setiap Muslim. Yang mereka perlukan bukan sekedar makanan dan pakaian akan tetapi adalah juga tempat berlindung dan sarana pendidikan. Memang sudah sejak lama sarana pembinaan anak yatim melalui panti-panti asuhan menjadi perhatian dari Badan-badan Dakwah Islam di tanah air. Tidak dapat dilupakan peran ke-gotong-royongan sebagai buah dari ajaran ta’awun sebagai inti aqidah tauhid.
Upaya yang dilakukan di antaranya untuk memberikan bantuan bea siswa terhadap anak-anak yatim, serta mencarikan Bapak angkat yang akan meng-kafil (membiayai) anak-anak yatim yang berprestasi dan juga mendirikan bangunan darul aitam.
Bertahun-tahun kemudian, membiayai anak yatim melalui lembaga puro atau mengidupkan ruhul infaq telah terbukti. Di antaranya bangunan Panti Asuhan Putera Bangsa Yayasan Budi Mulia Padang yang dilengkapi dengan sembilan lokal ruang belajar dan satu asrama bertingkat untuk anak-anak yatim, yang dimulai pembangunannya pada tahun 1992. Sungguhpun sampai sekarang Dewan Da’wah sebagai Yayasan belum mempunyai panti asuhan anak yatim secara khusus.
Hal ini tidaklah berarti bahwa Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia melupakan pembinaan anak yatim. Usaha ini dilakukan secara positif dengan berbagai gerak antara lain melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga-lembaga dakwah dalam dan luar negeri. Kemudian pada bulan September 1997 ditanda tangani piagam kerja sama pembinaan anak yatim tersebut antara Dewan Da’wah dengan Yayasan Budi Mulia di Padang.
Masih berkaitan dengan pembinaan anak yatim ini maka Dewan Da’wah secara intensif tetap berusaha ke arah penyediaan dana abadi yang secara jangka panjang mampu membiayai keperluan-keperluan anak yatim. Tentu, yang sangat mendesak terarah kepada anak-anak yatim yang berada di bawah Kafil Aitam Dewan Da’wah. Mulai Agustus 1996 dicoba mengusahakan ladang pembenihan bibit ikan untuk keperluan anak yatim di desa Bawan, Kec. Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan budidaya ikan air tawar sistem karamba di Desa Sigiran, Maninjau, yang juga hasilnya diperuntukkan 100% bagi keperluan anak yatim.
Usaha ini baru dalam langkah awal, namun juga berdampak terhadap pendidikan ekonomi pedesaan pada kalangan dhu’afa’ di sekitar proyek-proyek ekonomi yatim tersebut antara lain menerapkan sistem bagi hasil dengan para penduduk pedesaan dimaksud.
Apa yang digambarkan ini, semuanya berawal dari menghidupkan kembali puro, menggerakkan hati umat untuk ikut serta mengulurkan tangan membantu kaum yang lebih lemah (dhu’afa) dengan menanamkan ruhul infaq. G
Catatan
[1] Lihat DR. Anwar Haryono, SH; Media Dakwah Dzulkaedah 1411/ Juni 1991; Mengingat 24 Tahun Dewan Da’wah.
0 komentar :
Posting Komentar